BANDA ACEH – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh menghadirkan tujuh saksi fakta pada sidang lanjutan perkara dugaan korupsi dana minyak dan gas (migas) pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Kekayaan Aceh (DPKKA) 2010-2012 ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Banda Aceh, Senin (29/5). Sekarang dinas itu sudah dimekarkan.
Mereka bersaksi untuk terdakwa Hidayat selaku mantan kuasa bendahara umum (KBU) Aceh dan Mukhtaruddin selaku staf KBU. Pada sidang kemarin, masing-masing terdakwa didampingi pengacaranya yaitu Nurdin SH Cs dan Syahrul Rizal SH MH. Sidang itu diketuai, Elli Yurita SH dibantu hakim anggota, Edwar SH dan Nurmiati SH.
Adapun ketujuh saksi adalah Yusnimar, wakil pimpinan Bank Aceh saat itu, Suherni, kepala bagian operasional saat itu, Dian Fitri Wahyuni dan Ika Rahmawati selaku teller Bank Aceh, Chusaini selaku bagian pajak pada Bank Bukopin Cabang Banda Aceh dan Afrizal serta Rahmat Rasidin selaku tenaga kontrak pada DPKKA saat itu.
Pegawai Bank Aceh yang mendapat giliran pertama secara bergilir memberikan keterangan. Intinya mereka menyampaikan proses pencairan 26 cek tahun 2010 berjumlah Rp 22, 8 miliar, sembilan cek tahun 2011 berjumlah Rp 22,3 miliar, dan 12 cek tahun 2012 berjumlah Rp 11 miliar. Belakangan diketahui dana itu disalahgunakan hingga menimbulkan kerugian negara Rp 22,3 miliar.
Pencairan cek itu dilakukan oleh Afrizal dan Rahmat didampingi Mukhtaruddin. Afrizal dan Rahmat mengaku keduanya mencairkan dana itu atas perintah Mukhtaruddin selaku atasannya dan tidak tahu menahu soal uang itu. Saat pencairan, Rahmad, bertugas membawa uang secara tunai dalam ransel ke ruang Mukhtaruddin yang satu ruang dengan Hidayat.
Sebelumnya diberitakan, kasus ini berawal dari temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI Perwakilan Aceh yang dicatatkan dalam laporan hasil pemeriksaan (LHP) 2012 bahwa terjadi kekurangan kas Aceh Rp 33 miliar lebih. Nominal tersebut berasal dari penjumlahan kekurangan kas daerah tahun 2011 Rp 22,3 dan tahun 2012 Rp 11 miliar.
Kemudian, BPK meminta Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Aceh menelusuri bobolnya kas ini. Hasilnya, kas Aceh saat itu memang terjadi kekurangan Rp 33 miliar lebih. Tapi, DPKKA sudah mengembalikan kekurangan anggaran 2012 Rp 8,8 miliar. Sedangkan kekurangan kas Rp 2,4 miliar pada 2012 ternyata terjadi kesalahan pencatatan buku, sehingga kekurangan kas Aceh tinggal Rp 22,3 miliar.
Kemudian, Kajati mengungkapkan sisa kekurangan Rp 22 miliar lebih dari anggaran di bawah 2010. Berdasarkan temuan BPK, terdakwa Hidayat bersama-sama dengan Kepala DPKKA ketika itu, Paradis (almarhum) dan Mukhtaruddin berinisiatif menutupi kekurangan kas daerah saat itu dengan cara menarik dana dari rekening migas, seolah-olah selisih kas Aceh telah dipertanggungjawabkan.
Untuk menentukan nominalnya, Mukhtaruddin kemudian menyesuaikan pada cek dengan daftar pembayaran SP2D dari kegiatan lain yang sudah pernah dicairkan sebelumnya. Perbuatan itu juga disetujui oleh Husni Bahri TOB saat ia menjabat Sekda. Karena itu indikasi kerugian negara Rp 22 miliar lebih dari dana migas yang dipergunakan tidak untuk semestinya. (mas)