BPK Persoalkan Proyek Masyarakat Terisolir

BANDA ACEH (serambi) –
Karena sampai 18 Nopember 2009 lalu, Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf, belum juga menindaklanjutinya, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) kembali memasukkan ketidakberesan dalam pelaksanaan proyek penanganan masyarakat terisolir dan tertinggal Gampong Alue Waki, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya tahun anggaran 2007 dan 2008 senilai Rp 18,3 miliar ke dalam laporan hasil audit APBA 2008.

“Temuan di atas sebelumnya telah dmasukkan ke dalam LHP APBA 2007. Karena proyeknya berlanjut pada tahun 2008 dan masalahnya belum juga diselesaikan oleh SKPA, makanya dalam LHP APBA 2008, hal yang sama tetap di muat untuk segera ditindaklanjuti pihak eksekutif dan legislatif secara hukum,” kata Kepala Perwakilan BPK Aceh, Abdul Sholeh Rifai kepada Serambi di rung kerjanya, usai menyerahkan LHP APBA 2008 kepada Ketua DPRA, dalam sidang Paripurna Istimewa, Senin (23/11) di Gedung DPRA.

Kepala Perwakilan BPK Aceh itu menjelaskan, dalam rangka percepatan penanganan masyarakat terisolir dan tertinggal, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf ada membuat program khusus Penanganan Masyarakat Terisolir dan Tertinggal untuk Gampong Alue Waki, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten Nagan Raya dengan cara membentuk tim. Untuk melaksanakan program tersebut di atas, dilibatkan enam Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), yaitu Dinas Bina Marga dan Cipta Karya, Dinas Pengairan, Dinas Pendidikan, Dinas Kehutanan dan Perkebunan, Dinas Pertanian, dan BPM dengan alokasi anggaran totalnya Rp 18,3 miliar.

Banyak proyek fisik yang dilakukan belum sesuai dengan Keppres Nomor 80 tahun 2003, misalnya cetak sawak baru, yang dilakukan Dinas Pertanian, bukan kebun sawit yang dilakukan Dinas Kehutanan dan Perkebunan, dan pembangunan rumah yang dilakukan Dinas Bina Marga dan Cipta Karya. Misalnya pembangunan 50 unit rumah senilai Rp 2,9 miliar, sampai dilakukan pemeriksaan 30 Juli 2009, rumah tersebut belum selesai. Pembangunan jembatan Alu Waki senilai Rp 4,6 miliar, realisasi fisik baru 16 persen, uang telah dibayar mencapai 36 persen atau senilai Rp 1,4 miliar.

Pembangunan irigasi desa Kr Brueh sebesar Rp 37 juta dan Kr Aleu Pisang Rp 122 juta, tak layak dibayar. Pembukaan kebun kelapa sawit 276 hektare tahun 2007 senilai Rp 3,5 miliar, dengan realisasi anggaran Rp 3 miliar. Tahun 2008 dilanjutkan dengan anggaran Rp 1 miliar dengan realisasi Rp 962 juta atau 89,35 persen, tapi dalam dokumen disebutkan terealisir 100 persen. Cetak sawah senilai Rp 1,9 miliar, dilaporkan telah selesai 100 persen, tapi pada waktu dicek ke lokasi yang kelihatan semak belukar.

Bangun kantor gampong, balai gampong, sekolah dasar dengan anggaran Rp 1,1 miliar yang dilakukan BPM dan Dinas Pendidikan, dilaporkan telah selesai, tapi ketiga dicek bangunannya terlihat belum selesai 100 persen. Akibat tidak dikerjakannya dengan baik oleh rekanan dan kurang diawasi oleh SKPA, maka Pemerintah Aceh atas aset tersebut di atas menurut perhitungan auditor BPK, berpeluang bisa mengalami kerugian keuangan daerah mencapai Rp 7 miliar.

“Hal ini terjadi, karena PPTK, KPA dan Kepala Dinasnya jarang melakukan pengawasan ke lapangan, dan wakil gubernur selaku Ketua Tim Koordinasi Khusus Penanganan Masyarakat Terisolir dan Tertinggal belum optimal melakukan pengendalian dan pengawasan,” kata Abdul Sholeh Rifai. Kasus serupa juga ditemukan dalam proyek pembangunan sarana dan prasarana di Beutung Ateuh yang dilakukan Dinas Tenaga Kerja dan Mobilitas Penduduk senilai Rp 6,3 miliar. Pekerjaan baru terealisir 0,97 persen, tapi pembayaran telah mencapai 13 persen, sehingga terjadi kelebihan pembayaran 447 juta. Kepada rekanan harus dikenakan denda Rp 319 juta atau sebesar 5 persen dari pagu anggaran akibat keterlambatan pekerjaannya, belum dilaksanakan. Hal ini terjadi, karena lemahnya pengawasan dari PPTK, KPA dan kepala dinas.

Kecuali dua hal tersebut dia atas, sebut Kepala Perwakilan BPK RI Aceh, Abdul Sholeh Rifai mengatakan, masih ada 15 temuan lainnya , yaitu pengeluaran uang APBA mendahului pengesahan Rp 60,8 miliar, tunjangan komunikasi intensif (TKI) anggota DPRA Rp 5,9 miliar, belum dikembalikan, pengeluaran belanja tidak tepat sasaran Rp 287 juta, pengeluaran belanja pada Sekretariat Daerah Rp 1,02 miliar tak tepat sasaran, dua paket pekerjaan pada Dinas Pengairan terbengkalai Rp 30 miliar, penyusunan kontrak pengendalian banjir pada Dinas Pengairan Rp 5,7 miliar tidak wajar dan harus dikenakan denda Rp 17 juta, belum dilakukan.

Pengelolaan askes beasiswa S1, S2, dan S3 Rp 1,9 miliar menyimpang dari aturan dan uang asuransi kesehatan Rp 70 juta yang telah terlanjur di bayar belum dikembalikan, penyertaan modal ke PD BPR Mustaqim senilai Rp 20 miliar, berpotensi akan mengalami kerugian keuangan daerah Rp 1 miliar, pengadaan komputer pada Dinas Bina Marga dan Cipta Karya senilai Rp 464 juta sengaja dipecah pecah dan menyalahi aturan, dan pembangunan puskesmas senilai Rp 2,6 miliar terbengkalai.

Atas temuan tersebut di atas, kata Rifai, Pemerintah Aceh dalam audit APBA 2008, hanya mendapat opini dari BPK wajar dengan penecualian (WDP). Status yang sama juga diraih Kabupaten Simeulue. Sedangkan Kabupaten Nagan Raya, meraih predikat sedikit lebih baik, yaitu wajar tanpa pengecualian (WTP).

Begitupun, dalam pelaksanaan APBK 2008, juga banyak ditemukan pelanggaran aturan, antara lain sisa uang yang harus dipertanggungjawabkan Rp 385 juta pada 2008, belum dikembalikan ke kas daerah oleh masing-masing SKPD, belanja pemeliharaan rutin berkala bangunan sekolah Rp 15,39 miliar digunakan untuk inventaris, ini menyalahi aturan.

Kemudian, penggunaan bantuan hibah Rp 446 juta belum dipertanggungjawabkan, penerbitan SP2D tak sesuai ketentuan, hasil pengadaan kontruksi jaringan irinasi sebesar Rp 730 juta mengalami kerusakan, dan banyak pelanggaran lainnya yang perlu segera ditindak lanjuti oleh Bupati Nagan Raya Zulkarnaini dan DPRK setempat. “Semua temuan di atas, harus ditindaklanjuti paling lambat 60 hari sejak LHP diterima,” pungkas Abdul Sholeh Rifai.(her)