“Data ini menunjukkan perlunya kerja keras dan sinergi bagi Pemerintah Aceh untuk percepatan realisasi pendapatan dan belanjanya,” sebutnya.
Laporan Mawaddatul Husna | Banda Aceh
SERAMBINEWS.COM, BANDA ACEH – Direktur Pelaksanaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Daerah (P2KD) Kementerian Dalam Negeri, Horas Maurits Panjaitan menyampaikan per 25 Juni 2021 realisasi pendapatan dan belanja pemerintah daerah di Aceh secara umum masih di bawah rata-rata nasional.
Hal itu disampaikannya saat menjadi narasumber dalam Focus Group Discussion (FGD) dengan tema “Kupas Tuntas Isu Terkini Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Tahun 2021” secara online, Selasa (29/6/2021).
Peserta pada FGD tersebut sebagian besar dari BPKA dan BPKK seluruh Kabupaten/Kota di Aceh.
FGD dibuka oleh Kepala Kanwil DJPb Aceh (Syafriadi), dihadiri oleh Direktur Akuntansi dan Pelaporan Keuangan, DJPb, Kementeria Keuangan, R Wiwin Istanti), Direktur P2KD, Horas Maurits Panjaitan dan Kepala Subauditorat Aceh I BPK RI Perwakilan Aceh, Yitno.
Direktur P2KD, Horas Maurits Panjaitan menyebutkan, dari 24 pemerintah daerah baru tujuh daerah yang realisasi pendapatannya telah melebihi rata-rata nasional (32,24 persen) yaitu Aceh Besar (34,96 persen), Aceh Jaya (34,07 persen), Aceh Selatan (37,20 persen), Aceh Tengah (37,21 persen), Langsa (33,19 persen), Banda Aceh (32,65 persen) dan Lhokseumawe (35,85 persen).
Sementara dari sisi belanja, juga baru lima daerah yang realisasinya telah melebihi rata-rata nasional (25,48 persen) yaitu Aceh Selatan (30,84 persen), Aceh Tamiang (27,93 persen), Aceh Tengah (30,96 persen), Aceh Utara (28,67 persen), dan Banda Aceh (29,84 persen).
“Data ini menunjukkan perlunya kerja keras dan sinergi bagi Pemerintah Aceh untuk percepatan realisasi pendapatan dan belanjanya,” sebutnya.
Ia juga menegaskan, bahwa data-data realisasi pendapatan dan belanja pada APBD khususnya terkait Covid-19 memang menjadi fokus perhatian pada saat ini.
Beberapa isu aktual pada masa Covid-19 yaitu, kebijakan realokasi dan refocussing APBD yang akan berpengaruh pada fleksibilitas penggunaan APBD.
Selain itu, dikatakannya, pemberlakukan sistem kerja Work From Home menuntut adaptasi pada pola kerja pengelola keuangan.
Terkait pengelolaan keuangan daerah, aplikasi Sistem Informasi Pemerintah Daerah masih terus dikembangkan dan diharapkan dalam beberapa bulan kedepan sudah dapat terintegrasi dari proses perencanaan sampai dengan proses penyusunan laporan keuangan.
“Implementasi aplikasi baru ini memang menjadi salah satu kendala dari pengelolaan keuangan daerah di sebagian besar Kabupaten/Kota di Indonesia,” kata Horas.
Sedangkan Kepala Subauditorat Aceh I BPK RI Perwakilan Aceh, Yitno menyampaikan bahwa tujuan pemeriksaan laporan keuangan tidak semata-mata dengan ada atau tidaknya tindak kecurangan pada instansi pemerintah.
Opini WTP didapatkan dengan sebab kewajaran informasi pada laporan keuangan telah dipenuhi oleh Pemerintah Daerah.
Keberhasilan Pemerintah Aceh dan seluruh Pemerintah Kabupaten/Kota dalam raihan opini terbaik ini patut disyukuri, namun masih banyak rekomendasi dan temuan yang harus ditindaklanjuti.
Sampai saat ini, baru 73 persen temuan BPK yang sudah ditindaklanjuti Pemda.
Beberapa temuan seperti ketidaktertiban dalam pertanggungjawaban belanja, aset, pengelolaan BLUD, dana BOS dan pengelolaan kewajiban masih menjadi pekerjaan rumah bagi pemerintah daerah di Aceh.
Kepala Kanwil DJPb Aceh, Syafriadi menyampaikan keberhasilan meraih opini WTP menunjukkan tata kelola pemerintahan di Aceh semakin baik dan akuntabel, karena uang rakyat harus semaksimal mungkin dipertanggungjawabkan dengan cerdas dan bermanfaat.
“Capaian tersebut harus terus dijaga dan ditingkatkan karena tantangan ke depan semakin berat, pandemi Covid-19 belum berakhir, bahkan saat ini masih menunjukkan peningkatan tajam kembali,” sebutnya. (*)
Sumber: Serambinews