Rakyat Aceh Makan Uang Riba

4098db889f847c42934b46bd273a49b93c08e2491

Perwakilan Badan Audit Uni Eropa, Maarten Engwirda, memberikan penjelasan tentang Transparansi dan Akuntabilitas Pengelolaan Dana Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dalam konferensi pers di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Minggu (16/8). SERAMBI/SAID KAMRUZAMAN

BANDA ACEH – Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota lebih tertarik menempatkan uangnya di Bank Indonesia dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) daripada mengalirkan untuk sektor yang produktif. Bunga hasil penempatan deposito di SBI kemudian dialirkan lagi ke daerah. Fenomena ini dinilai akan menghambat pembangunan di daerah, termasuk di Aceh.

Tidak mengherankan jika Kepala BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) RI Anwar Nasution mengatakan bahwa rakyat di Aceh selama ini memakan uang riba. “Aceh mendapatkan uang yang sangat besar, jauh lebih besar dari apa yang pernah dituntut pemberontakan di masa lalu seperti DI/TII, Permesta. Cuma, ternyata uang ini tidak dipakai dengan baik untuk meningkatkan kemakmuran di daerah. Uangnya justru dibungakan di SBI. Jangan ngomong doang Aceh ini Syariat Islam, ternyata makan riba,” katanya kepada sejumlah wartawan usai konferensi pers di Hotel Hermes Palace, Banda Aceh, Minggu (16/8).

Anwar Nasution hadir dalam konferensi pers bersama dengan lembaga pengaudit dari 8 negara, yaitu dari Australia, Belanda, Jepang, Korea, Prancis, Swedia, dan Uni Eropa, serta dari Arab Saudi yang diwakili oleh the Saudi Fund for Development. Selama berada di Aceh, lembaga ini memberikan pengalaman bagaimana mengaudit dana tsunami dan cara-cara meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pemanfaatan dana bantuan bencana.

Para bupati/walikota se-Aceh atau utusannya, Gubernur Irwandi Yusuf, dan pejabat Badan Kesinambungan Rekonstruksi Aceh (BKRA) dan mantan pejabat BRR tampak hadir mengikuti pertemuan yang sudah berlangsung sejak Sabtu lalu. Dijelaskan Anwar, provinsi yang paling kaya setelah Papua adalah Aceh. Namun, Aceh punya keunggulan lain yang tidak dimiliki Papua, yakni Sumber Daya Manusia (SDM). Begitupun, tidak semua kabupaten/kota di Aceh menggunakan SDM yang berkualitas. Sejalan dengan Otonomi Daerah, para bupati atau walikota cenderung menggunakan orang yang sedaerah dengannya. Inilah salah satu penyebab banyak daerah di Indonesia yang hasil audit BPK-nya tergolong Disclaimer. “Dengan adanya otonomi, pemerintah kabupaten/kota cenderung menggunakan orang daerah sendiri meski tidak berkualitas. Masalahnya, orang kampung sendiri itu bodoh-bodoh,” katanya. Begitupun, Anwar mengaku bangga dengan predikat Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diraih tiga kabupaten/kota di Aceh, yakni Banda Aceh, Aceh Tengah, dan Lhokseumawe.

Kunjungi lokasi
Rangkaian acara BPK’s Advisory Board on Tsunami-Related Audit di Aceh dimulai sejak Sabtu (15/8) lalu. Para delegasi dari berbagai negara itu juga berkunjung langsung untuk melihat kemajuan rekonstruksi Aceh dan pengunaan dana dari masyarakat Internasional. Mereka, antara lain, berkunjung ke Museum Tsunami Aceh, Pelabuhan Ulee Lheue, dan Pasar Aceh. Sedangkan pada Minggu kemarin, mereka berdiskusi dan mendengar pemaparan pemerintah daerah dan BRR tentang akuntabilitas pengelolaan dan bantuan tsunami.

Delegasi Lembaga Pengaudit itu bersama BPK RI juga memaparkan pengalamannya bagaimana mengaudit dana-dana tsunami dari masyarakat Internasional. Mengingat pekerjaan rehabilitasi dan rekonstruksi di Aceh sudah selesai secara formal, direncanakan badan ini akan dibubarkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hari ini di Jakarta.(sak)