Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Muhammad Yusuf Ateh mengaku sangat sulit mengaudit keuangan pemerintah di tengah pandemi Covid‑19 karena jumlah anggaran yang diawasi tidak sedikit. “Bagi auditor, hal tersebut menimbulkan beberapa tantangan utama dalam proses audit. Kita ketahui luasnya area, besaran anggaran yang diawasi juga luar biasa. Ditambah lagi dengan adanya pembatasan pertemuan fisik pada saat pandemi ini.
Pengakuan Kepala BPKP itu tentu sangat mencemaskan banyak orang yang memahmi persoalan di baliknya serta dampak yang timbul ke depan. Apalagi, tahun lalu Badan Pemeriksa Keuangan (BPK RI) menyoroti beberapa masalah dari laporan keuangan Pemerintah Pusat tahun 2019. Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengidentifikasi sejumlah masalah tahun 2019, baik dalam sistem pengendalian internal (SPI) maupun dalam kepatuhan terhadap ketentuan perundang‑undangan yang harus ditindaklanjuti.
Dari 13 temuan permasalahan terkait kelemahan sistem pengendalian internal dan kepatuhan tersebut antara lain adalah sebagai berikut. Pertama, kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan pada Direktorat Jenderal (Dirjen) Pajak.
Kedua, penyajian aset yang berasal dari realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat sebesar Rp 44,20 Triliun pada 34 K/L tidak seragam, serta terdapat penatausahaan dan pertanggungjawaban realisasi belanja dengan tujuan untuk diserahkan kepada masyarakat yang tidak sesuai ketentuan.
Ketiga, Penyaluran dana Peremajaan Perkebunan Kelapa Sawit (PPKS) Tahun 2016‑2019 pada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit Kementerian Keuangan belum sepenuhnya dapat menjamin penggunaannya sesuai tujuan yang ditetapkan karena identitas Pekebun penerima dana PPKS belum seluruhnya valid dan adanya dana PPKS yang belum dipertanggungjawabkan.
Artinya, ketidakberesan laporan keuangan pemerintah bukan hanya terjadi pada musim pandemi ini. Jauh sebelum pendemi melanda negeri ini, laporan keuangan pemerintah memang sudah sering bermasalah.
Yang paling mencemaskan banyak kalangan di dalam negeri pada 2020 dan 2021 ini antara lain mengenai utang luar negeri pemerintah yang kian membengkak. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) bahkan mengkhawatirkan penambahan utang yang dilakukan pemerintah, setelah melakukan audit laporan keuangan Pemerintah Pusat pada 2020.
“Tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga melampaui pertumbuhan PDB (produk domestik bruto) dan penerimaan negara, sehingga memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang,” ujar Ketua BPK Agung Firman Sampurna sambil mengingatkan, “Pandemi Covid‑19 meningkatkan defisit, utang, dan SILPA yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.”
Kita masih ingat tahun lalu Dana Moneter Internasional (IMF) menilai Indonesia telah mengatasi tekanan ekonomi dan sosial yang timbul akibat pandemi Covid‑19 dengan paket kebijakan komprehensif dan terkoordinasi. Sayangnya, ketika pemerintah kian memperbesar belanjanya untuk mengatasi jatuhnya Indonesia dalam jurang resesi yang kian dalam, Indonesia harus berhadapan dengan angka defisit yang melebar.
Meski banyak orang pesimis bahkan cemas dengan besarnya utang pemerintah, APBN yang devisit, ditambah lagi iklim ekonomi yang memburuk, tapi Menteri Keuangan Sri Mulyani menunjukkan sikap optimisnya. Ia mengaku, kebijakan‑kebijakan pemerintah selama ini dalam jangka pendek pengaruhnya mungkin terbatas, karena ekonomi lagi shock dan kita cuma mengurangi supaya shock‑nya tidak ‘dalem banget’. Tapi buah dari yang dilakukan sekarang itu mungkin baru akan terasa pada tiga tahun ke depan. Makanya, nanti tiga tahun ke depan orang mengklaim, “wah ekonomi bagus”. Nah, semoga prediksi Sri Mulyani tidak meleset!
Sumber: Serambinews.com