Oleh Munawir Abdullah bin Syeh*
MENARIK untuk mendalami, memahami, dan mengkaji secara lebih mendalam mengenai laporan hasil pemeriksaan (LHP) kinerja lembaga pemerintahan. LHP memberikan informasi yang cukup lengkap mengenai satu periode (setahun) pelaksanaan kinerja lembaga pemerintahan. Dokumen LHP merupakan hasil pemeriksaan laporan keuangan lembaga pemerintahan yang dilakukan BPK. Hasil dari dokumen tersebut menyajikan tiga hal, yaitu opini audit, temuan audit, dan kesimpulan atau rekomendasi BPK RI (Lestari, 2019).
Secara kewenangan, LHP dikeluarkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Untuk kabupaten/kota LHP dikeluarkan oleh BPK RI perwakilan provinsi. Sedangkan untuk LHP setingkat provinsi dan kementerian atau lembaga terkait dikeluarkan oleh BPK RI. Secara umum LHP dapat dimaknai sebagai proses penilaian akhir terhadap satu periode kinerja pemerintahan, baik pemerintahan tingkat pusat, daerah dan lembaga-lembaga terkait pada setiap tingkatan organisasi pemerintahan.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2006, BPK bertugas untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara yang dilakukan oleh pemerintah pusat, pemerintah daerah, lembaga negara lainnya, Bank Indonesia, badan usaha milik negara, badan layanan umum, badan usaha milik daerah, dan lembaga atau badan lain yang mengelola keuangan negara. Masih berdasarkan undang-undang tersebut, BPK bekerja langsung di bawah SK presiden.
Secara substantif, kinerja lembaga pemerintahan dinilai dari dua aspek. Pertama, dari aspek kinerja keuangan dan kedua dari aspek kinerja nonkeuangan. LHP memberikan informasi yang cukup lengkap mengenai kinerja lembaga pemerintahan dari kedua aspek tersebut, sekalipun secara khusus LHP lebih penyajian mengenai pertanggungjawaban anggaran publik yang dikelola lembaga pemerintahan. Oleh karena itu, sebagai bagian dari amanah reformasi untuk mewujudkan akuntabilitas dan transparansi kinerja lembaga pemerintahan. Maka keterlibatan publik untuk melihat, menganalisis, dan memahami LHP merupakan suatu keharusan, sekalipun publik tidak mungkin untuk dilibatkan pada tahapan penyusunan.
Memaknai LHP
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah pasal 187 ayat (2). Laporan keuangan pemerintah daerah paling sedikit harus memenuhi tujuh unsur meliputi laporan realisasi anggaran, laporan perubahan saldo, neraca, laporan operasional, laporan arus kas, laporan perubahan ekuitas/modal dan catatan atas laporan keuangan. Ketujuh komponen tersebut merupakan bagian yang tergambarkan dalam LHP dan sebagai informasi penting berkaitan dengan kinerja lembaga pemerintahan, khususnya mengenai pengelolaan keuangan publik.
Kembali ketiga dari hasil pemeriksaan BPK, item temuan audit menjadi hal yang sangat menarik untuk didalami. Item ini merupakan rekomendasi yang dikeluarkan BPK dalam bentuk nominal rupiah. Temuan ini sifatnya hanya dalam bentuk rekomendasi dengan mengacu kepada dua indikator utama, yaitu indikasi ketidakpatuhan terhadap sistem pengendalian internal dan indikasi ketidakpatuhan terhadap peraturan perundangan-undangan.
Jika lembaga pemerintahan dalam pengelolaan keuangan publik terindikasi terjadi penyimpangan terhadap salah-satu dari kedua ketentuan tersebut, maka temuan tersebut dapat disebutkan sebagai temuan audit. Dalam definisi yang lain, angka temuan tersebut harus bersifat material. Artinya, ada batasan-batasan angka tertentu yang dianggap dapat merugikan publik, namun besaran nominal untuk dapat dipastikan material atau tidak sangat subjektif, tergantung kasus yang sedang dilakukan pemeriksaan.
Merupakan suatu kewajiban bagi instansi terkait (bidang pengawasan) untuk menindaklanjuti setiap temuan berdasarkan hasil pemeriksaan dari BPK. Sebagai contoh di pemerintahan daerah, inspektorat merupakan instansi yang paling bertanggung jawab untuk memastikan rekomendasi BPK ditindaklanjuti. Dalam hal ini, ketegasan pimpinan daerah sangat mutlak diperlukan untuk memastikan agar inspektorat dapat bekerja secara independen dan mandiri dalam menindaklanjuti setiap temuan audit BPK.
Peranan Inspektorat dan DPR
Secara kewenangan inspektorat merupakan lembaga yang paling bertanggung jawab untuk menindaklanjuti setiap temuan BPK di tingkat kabupaten/kota, provinsi dan kementerian atau lembaga-lembaga pemerintahan terkait. Sedangkan DPR atas nama pengawasan dan pemegang mandat rakyat dapat memanggil inspektorat. Pemanggilan tersebut sangat penting untuk dilakukan, agar DPR dapat memastikan bahwa semua temuan audit sudah atau dapat ditindaklanjuti oleh inspektorat.
Kedua lembaga tersebut memiliki peranan yang sangat penting dan strategis untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap pemerintah. Inspektorat dan DPR menjadi ujung tombak agar pelaksanaan anggaran kabupaten/kota, provinsi dan kementerian atau lembaga terkait dapat berjalan dengan baik dan benar (efektif, efisien dan ekonomis/value for money).
Dalam pertanggungjawaban laporan keuangan pemerintah, DPR seharusnya tidak hanya sebatas mendengar laporan keterangan pertanggungjawaban (LKPj) pimpinan daerah dalam rapat paripurna. Akan tetapi, DPR dapat memanggil inspektorat untuk memastikan bahwa saran-saran atau rekomendasi perbaikan terkait pengelolaan anggaran untuk tahun selanjutnya lebih sesuai dengan sistem pengendalian internal dan sesuai dengan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan.
Pada prinsipnya, orientasi dari LHP BPK adalah untuk memberikan rekomendasi perbaikan kepada pimpinan daerah dalam melakukan pengelolaan keuangan publik. Perbaikan tersebut dalam bentuk penyempurnaan agar pengelolaan keuangan publik sesuai dengan sistem pengendalian intern dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kesesuaian terhadap kedua indikator tersebut menjadi fokus utama dalam pengungkapan temuan audit yang dilakukan oleh BPK RI. Wallahu’alam.[]
*Penulis adalah mahasiswa Program Pascasarjana Universitas Malikussaleh dengan konsentrasi Manajemen Keuangan Daerah
Editor : Ihan Nurdin
Sumber : acehtrend